Refisi Pena Tak Berdawat, ;)
“Selamat
ulang tahun Vannya, aku harap dengan hadiah yang aku berikan buat kamu ini bisa
buat kamu bahagia. Sebuah Pena peninggalan almarhum ayahanda ku. Aku mohon kamu
ngerawatnya dengan baik ya. Aku yakin dengan dawat pena ini, Kamu akan menulis
cerita yang akan membuat kamu jadi penulis terkenal suatu saat nanti. Aku harap
kita bisa segera bertemu. Salam sayang, Devano, Sahabat kecil mu.”
“Vano..” Gumam
ku terharu bahagia setelah membaca tulisan disecarik kertas yang menggulungi
pena hitam bercorak kuning emas yang terbuat dari perak itu. Tanpa berfikir panjang,
Aku pun segera menuliskan sebuah puisi didalam buku diary yang pernah diberikan
Vano sebelum pergi meninggalkan kota kelahiran kami, Pekanbaru, Setelah Ayahnya
meninggal dalam kecelakaan pesawat saat bertugas.
“Vannya, Loe
udah ditunggu anak2 dibawah tuh.” Panggil Zara, Sahabat ku, mengagetkan aku
yang tengah fokus didalam perasaan ku. Aku pun segera menutup buku diary ku dan
bergegas keluar kamar.
“Loe kok,
lama banget sih?” Tanya zara begitu aku keluar kamar.
“Sorry, Gue
tadi lagi ngebuka kado dari sahabat kecil gue. dia ngasih gue ini.” Ucap ku
bahagia.
“Dari vano?”
Tanya Zara singkat yang ku balas dengan anggukan kepala ku.
“Ya sudah, Kalau
gitu kita turun ya. Dibawah udah rame banget, acaranya udah mau dimulai.” Tutur
Zara sembari merangkul tangan ku dan membawa ku berjalan menuruni anak tangga.
“Para
hadirin.., ini lah dia ratu pestanya, wah.. Cantik banget ya.. Dinda Vannya Dwi
Al-Sky. Ayo kita nyanyikan lagu selamat ulang tahun buat Vannya.” Tutur kak
Gerald, pembawa acara yang meramaikan suasana acara disambut dengan tepuk
tangan dan nyanyian selamat ulang tahun dari para undangan.
“wah, gak
nyangka dia cantik banget ya. Beda banget sama yang biasanya.” Bisik-bisik para
tamu undangan yang membuat langkah ku semakin pasti menuju kearah kue ulang
tahun yang berada diatas panggung bersama bunda dan para sahabat ku, anak
Thrafallgar band, Tignove, Fazri, Riska dan Andreas.
“Dek, Kamu
cantik banget!” Gumam bang tignove, Sang reatem dan personil band thrafallgar
lainnya.
“Makasi
sahabat ku!” Jawab ku sembari tersenyum bahagia.
“Oke, Kita
mulai ya acara tiup lilinnya Vannya, etz.. tapi entar. Mata kamu harus ditutup
pake sapu tangan ini dulu, Soalnya kita ada kado special buat kamu.” Ucap kak
Gerald yang membuat ku penasaran.
“Ada kado
apaan sih woi?” Tanya ku kepada sahabat - sahabat ku.
“Gak tau, Loe
liat aja sendiri nantik.” Jawab mas Fazri sang drummer. Dan aku pun menurut,
membiarkan mata aku ditutup. Dan semua orang menyanyikan lagu tiup lilin kepada
ku.
“Oke Vannya,
Sekarang loe tiup lilinya ya, 1,2,3.” Perintah kak Gerald dan aku menium lilin
yang aku rasa ada dihadapan ku. Seseorang mulai membuka penutup mata ku, lalu
mengucapkan selamat ulang tahun.
“Selamat
ulang tahun Vannya!”
“Kak Giaz!”
kata ku bahagia melihat sosok seseorang yang sudah lama tidak aku lihat berada
dihadapan ku membawa kue tar coklat kesukaan ku. Aku pun segera memindahkan kue
itu kemeja dan memeluk kak Giaz, abang angkat ku.
“Kok Cuma kak
Giaz aja sih yang dipeluk, Kita enggak nih? Jadi sekarang kakaknya Cuma kak
Giaz aja!” Seru seorang cowok yang berdiri tak jauh dari kak Giaz. Aku pun
segera melepaskan pelukan ku dan melihat siapa yang tengah meledek ku itu.
“Hah.., kak
Dion, kak Abdee, Kak Dien, Mbak Uwi, brandon” Ucap ku sembari melangkahkan kaki
ku untuk memeluk seseorang diantara mereka. Kak Dion yang merasa akan dipeluk,
Merentangkan tangannya.
“Selamat
ulang tahun ya dek!” Ucap Mbak Uwi saat aku memeluknya.
“Yeee.., Gue
kira dia mau meluk gue!” gerutu Kak Dion kesal yang disambut dengan tawa anak
Dr. chip’s.
“huuuu..,
ngarep loe yon! Gak muhrim!” ledek Mbak Uwi sembari tertawa dan aku hanya
tersenyum.
“Kalian kok
bisa ada disini sih kak? Bukannya Dr. chip’s lagi dikontrak ture Indonesia ya?”
Tanya ku.
“Itu sih
alasan kita aja biar kamu nya gak tau kita mau buat kejutan untuk kamu dek!”
Jawab Mbak Uwi dengan senyum kemenangannya berhasil mengerjai aku.
“Oh.. udah
mulai pada reseknya kakak - kakak Dr.chip’s semua!” Tutur ku sembari menatap
usil mereka.
“Dasar ya!
Namanya juga kejutan..” Jawab kak Abdee sembari menarik hidung ku.
“Aduh..
sakit kak, ampun!” Keluh ku yang membuat aku tersadar dari lamunan ku.
“Sakit kan
yank! Siapa suruh loe ngelamun siang-siang bolong? Ditaman pula lagi tu!” tutur
Zara.
“Aaarrgghh..,
ternyata elo! Gue kira kak Abdee yang narik hidung gue lagi!” tutur ku kesal.
“Mimpi kali
loe, Itu ceritakan udah lama banget, udah setahun lebih malah! Kenapa loe baru
ngebayanginnya sekarang lagi! Udah basi tau gak!” cetus Zara meledek ku.
“Iya..
iya.., Gue tau! Gue kan lagi cari inspirasi buat nulis cerpen, Nah gak tau aja
tiba - tiba keingat ma acara ultah gue tahun lalu. Eh.., Acara ultah gue tinggal
berapa bulan lagi ya!” Gumam ku sembari menghitung bulan penanggalan.
“Tiga bulan lagi,
dan itu pas bulan puasa, Jadi loe gak bisa ngerayain ultah loe! Gak baik!”
tutur Zara.
“Iya juga
ya! Huft!” Saut ku sembari menuliskan kalimat kesedihan dibuku diary ku.
“Loe masih
pake itu pena buat nulis cerpen?” Tanya Zara sembari melirik kuat kearah pena
yang diberikan Vano saat ulang tahun ku.
“Iya, Gue
suka banget pake ini pena, Gue jadi ngerasa Vano selalu ada disamping gue.” Ucap
ku sembari tersenyum manis dan melanjutkan tulisan ku.
“Huft..,
Van.., Maafin gue ya! Bukannya gue bermaksut buat matahin semangat loe, Kenapa
sih loe harus nulis cerpen dengan pena itu, kan loe ada leptop yang dihadiahin
dari anak Dr. chip’s. Loe pake aja itu, kan lebih cepat, Jadi loe gak perlu kerja
dua kali! Dan gue minta, Loe jangan terlalu berharap deh sama cinta masa
dikecil loe, Gue takut tar loe sakit kalau takdir gak berjalan sesuai keinginan
loe!” Tutur Zara penuh hati-hati dalam mengucapkan maksut baiknya kepada ku.
Sejenak aku berhenti menulis dan tersenyum dihadapan sahabat ku itu lalu
memeluknya.
“Makasi ya
ra, Loe udah ngingetin gue! Loe emank sahabat gue yang terbaik! Tapi gue gak bisa
nulis kalau gak pake pena ini, karena inspirasi gue gak bakalan ngalir.” Jawab
ku penuh syukur karena memiliki sahabat yang selalu mengingatkan diri ku dengan
Obsesi besar ku. Zara pun hanya tersenyum manis kepada ku, dan aku pun mulai
menggerakkan tangan ku untuk menggoreskan dawat pena keatas kertas buku diary
ku, Menulis satu persatu kata yang terlintas dibenak ku. Kali ini aku benar - benar
lebih semangat dari yang biasanya, Zara pun memperhatikan tulisan ku sembari
tersenyum membacanya.
“Kok macet
ya!” Seru ku begitu melihat goresan dawat dikertas terputus-putus. Aku pun
mencoba menggoreskan dawat pena itu lagi, namun hasilnya tetap sama bahkan
menghilang.
“Coba deh
loe buka kepala penanya!” Saran Zara. Dan aku pun melakukan saran itu.
“Wah.., Dawatnya
abis!” Gumam ku sedih!
“Vannya
jangan sedih dunk!” Kata Zara sembari merangkul pundak ku dan mengusap -ngusapnya.
“Gue kan
belum selesai nulis endingnya Ra, padahal tadi gue mau buat endingnya gue bisa
ketemu sama Vano. Tinggal satu pokok ide aja lagi! Huft…!” tutur ku lirih.
“Ya udah,
kalau gitu loe pake pena gue aja!” Sahut Zara girang bisa membantu mengatasi
masalah ku.
“Makasi ya
Ra, Tapi gue gak bisa nulis kalau gak pake pena ini, loe tau kan alasannya
kenapa!” Tutur ku.
“Iya, gue
tau. Oke, Kalau gitu kita coba cari tempat buat ngisi dawat pena ini! Gimana?”
Ucap Zara bersemangat memberi solusi yang terbaik untuk ku, Sahabat satu - satunya.
“Hah.., Iya
ya! Ide bagus tuh! Loe emang sahabat gue yang smart deh. Ayok kita pergi
sekarang!” Sahut ku girang sembari melangkahkan kaki ku menuju pintu keluar
taman. Sementara itu Zara hanya tersenyum dan menggeleng - gelengkan kepala
lalu mengikuti langkah ku yang sudah jauh.
“Van, gue
udah capek banget nih keliling - keling kota nyari toko yang bisa gantiin dawat
pena loe!”
“Aduh Ra,
maafin gue ya! Tapi bentar lagi ya kita pulang, Gue masih mau nyari nih!” Pinta
ku.
“Iya gue ngerti!
Tapi udah sore banget, Tar lagi mau malam, kita lanjutin besok aja ya!” Keluh
Zara.
“Hem.., Oke
deh!” Ucap ku sembari melangkahkan kaki ku kearah parkiran mobil. Tak terasa
sudah hampir lima jam aku dan Zara memasuki satu persatu toko dawat pena, Namun
tidak ada satu pun yang bisa menggantikan dawat pena miliki, Aku pun tak sabar
untuk menunggu hari essok.***
“Vannya, Loe
tau gak sih Bintang yang terang itu bialang apa ke gue?” Tanya Vano yang tengah
asik berbaring dipangkuan ku sembari menunjuk kearah bintang kejora dipagi buta
itu.
“Enggak, Emang
dia bilang apa?” Tanya ku penasaran sembari tertawa kecil.
“Dia bilang,
Dia iri banget sama gue, karena gue cowok yang paling beruntung banget bisa
ngedapetin cinta suci dari dari seseorang cewek cantik yang ada didekat gue!”
“Siapa cewek
itu?” Tanya ku mulai kesal.
“Yaitu loe,
peri bintang dihati gue!” Kata Vano yang membuat ku tersentak malu dan
tersenyum bahagia.
“Cie.. cie..
dia malu-malu, jelek tau!” Ledek Vano yang memancing emosi ku, Aku pun segera
menolaknya dari pangkuan ku hingga ia tersungkur ketanah dan aku segera pergi
meninggalkannya ditaman.
“Van.. Vannya..,
eiy.., jangan marah! Gue Cuma bercanda!” Teriak Vano memanggil ku dan mengejar
langkah ku. Namun aku tetap saja tak memperdulikannya, Rasa kesal ku benar -benar
tengah memuncak didalam lubuk hati ku. Aku pun segera menyebrang jalan raya
yang sedang padat kendaraan berlalu - lalang disana. Sengaja, Agar Vano tak
bisa mengejar ku karena lampu merah penyebrangan jalan sudah menyala. Aku masih
saja mendengarkan teriakan suara Vano memanggil nama ku dengan usahanya
menyebrangi jalan yang sudah mulai semakin padat pengendara berlalu - lalang.
Aku tetap saja cuek usaha Vano itu, Hingga akhirnya terdengar suara gemuruh
kelakson mobil yang menambrak sesuatu.
“Pemuda itu
ditabrak mobil!” Teriak seorang ibu - ibu yang langsung mengalihkan perhatian
ku kearah jalan.
“Vannnnnoooo…….”
Jerit ku histeris setelah melihat sosok seseorang yang aku cintai tergeletak
bersimbahan darah didepan mata ku.
“Pemuda ini
tewas ditempat!” Ucap seorang peria tua yang tengah memeriksa Vano. Aku pun
segera berlari kearah jasat itu dan kembali menerikan namanya.
“Vannnnooo……”
Teriak ku tersentak duduk diatas ranjang ku dengan nafas yang terengah -engah.
“Astaga, ini
Cuma mimpi! Syukurlah!” Gumam ku sembari meraih phonsel ku dan menelvon
Zara.***
“Oom gak bisa
ngisiin dawat pena kamu ini, Soalnya jenis dawat pena ini udah langka banget!
Oom minta maaf ya Vannya!” Ucap Ayah Riska sang bassis didalam band ku, yang
selalu tergema ditelinga ku. Sudah tiga hari aku berkeliling mencari tempat
yang bisa mengisikan dawat pena kesayangan ku ini. Namun tak ada hasil sehingga
Riska memberitaukan kepada ku, Ayahnya seorang kolektor pena antik dan menyuruhku
untuk meminta tolong kepada Ayahnya. Ternyata hasilnya nihil, kesedihan kini
benar - benar menyelimuti hati ku. Tak ada yang bisa aku lakukan selain melihat
pena pemberian Vano itu ditangan ku. Hingga tak terasa waktu telah berlalu
sangat cepat, tetapi aku masih saja terduduk sedih disebuah taman ditengah
jantung kota Pekanbaru, tempat aku dan vino bermain semasa kecil hingga ia
pergi.
“Van.., udah
ya sedihnya! Gue tau pena itu berarti banget buat loe.” Tutur Zara yang tiba - tiba
datang menemuiku ditaman. Aku hanya terdiam memandangi sahabat ku itu lalu
segera bergerak meninggalkan taman itu menuju sebuah café tempat dimana aku dan
para sahabat ku janji untuk berbuka puasa bersama. Aku memasuki café itu
dan terduduk lemas dalam kesedihan dan lelah ku. Sementara para sahabat ku asik
berbicara dan mengabaikan kehadiran ku, Hanya ada Fazri, Tignove, dan andreas.
Aku tak melihat kedua sahabat cewek ku disini.
“Kemana
mereka?” Fikir ku sembari meneguk segelas teh hangat saat suara serinai tanda
berbuka puasa berkumandang ditelinga ku. Tiba - tiba mata ku ditutup dengan
tangan seseorang yang membuat aku merasa kesal. Aku mencoba melepaskan tangan
yang menghalangi mata ku itu, hingga orang itu mau melepaskannya. Terdengar
suara orang - orang bersorai mengucapkan selamat ulang tahun kepada ku. Aku
tersenyum bahagia saat mata ku melihat sebuah kue tar coklat lengkap lilin
angka 19 tahun diatasnya dengan api yang menyala berada dihadapan ku.
“Loe pasti
sampe lupakan sama hari ulang tahun loe! So, kita sengaja buat ini semua agar
loe gak lupa hari terpenting dalam hidup loe! Selamat ulang tahun ya beb!” Tutur
riska sembari memeluk ku.
“thanks ya
guise! Kalian semua emank sahabat baik gue!” Ucap ku sembari tersenyum gembira.
“Ayo make a
wish dulu sebelum loe tiup lilinnya!” Ucap Zara mengingatkan ku yang disambut
dengan suara anak-anak Thrafallgar menyanyikan lagu tiup lilin untuk ku. Aku
pun menutup kedua mata ku sembari memohon didalam hati ku.
“Ya Allah,
Aku harap, Aku bisa segera bertemu dengan Vano!” Bisik ku sembari meniup lilin
dihadapan ku dan disambut dengan tepuk tangan para sahabat ku.***
“Gak ada
kiriman kado dari Vano!” Ucapan Bunda yang masih terbesit didalam otak ku
hingga sebulan ini.
“Kenapa Vano
gak ada ngirimin aku kado ya!” Gumam ku, berfikir dalam - dalam dibenak ku
sembari memandang keluar jendela mobil taxi. Aku yang segera melangkahkan kaki
ku menuju Bandung setelah Riska memberi tahu ku bahwa Ayahnya menemukan toko
yang bisa mengisi tinta pena ku itu. Dan kini aku tengah berada dikota bandung,
langsung menuju kealamat toko yang diberikan Riska kepada ku setelah pesawat
yang membawa ku terbang mendarat dibandara.
“Pak, Tunggu
sebentar ya!” Pinta ku kepada pengemudi taxi itu lalu melangkahkan kaki ku
memasuki toko Jaya Pean yang terlihat sangat tua itu. Aku sangat kecewa begitu
pemilik toko mengatakan stock dawat itu sudah habis empat bulan yang lalu,
dimana pena ku mulai tak berdawat. Aku keluar dari toko itu dengan wajah
cemberut ku, tapi expresi wajah ku segera berubah gembira saat aku melihat
sosok wanita yang sedang berjalan tak jauh dari tempat ku berdiri.
“Tante
Erlin” Gumam ku, Lalu segera berteriak memanggil wanita itu dan berlari kearahnya,
wanita itu adalah Maminya Vano.
“Kamu
siapa?” Tanya wanita itu saat aku berhasil menghentikan langkahnya dan berdiri
dihadapannya.
“Aku Vannya
tante, Anaknya pak Supriyono, temannya om Edwin waktu diPekanbaru!” Tutur ku.
“Oh..,
Iya..iya…, Tante ingat! Wah kamu udah gedek ya! Lebih cantik dari pada yang
difoto!”
“Ah.., Tante
bisa aja! O iya, Vano mana tante? Aku kangen sama dia.” Tanya ku sembari
mencium tangan wanita itu. Tiba-tiba expresi wajah wanita itu berubah menjadi
sedih yang membuat aku jadi bingung.
“Tante
kenapa? Kok sedih? Aku salah ngomong ya tante?” Tanya ku ikut sedih melihat
raut wajahnya.
“Kamu pasti
mau ketemu Vano kan? Ayo ikut tante!” Ajak wanita itu sembari tersenyum kecil
dan aku pun membalas senyum itu dengan bahagia. Disepanjang perjalanan, jantung
ku berdetak kencang karena aku akan bertemu seseorang yang sangat aku cintai
setelah sekian lama tidak bertemu, Kebahagiaan besar kini menyelimuti hati ku.
Hingga akhirnya aku dan wanita itu berhenti disebuah Kompleks yang tak jauh
dari pemakaman umum.
“Rumah tante
dekat daerah sini ya?” Tanya ku yang masih saja tersenyum bahagia.
“Bukan, Tante
ngebuatin rumah baru untuk Vano didaerah sini.” Jawab wanita itu tanpa ekspresi
apa pun sembari melangkahkan kakinya memasuki pintu pemakaman.
“Loh! Kita
kok masuk kedalam sini tante?” Tanya ku bingung dan jantung ku mulai semakin
berdetak kencang penuh ketakutan saat wanita itu tak menjawab pertanyaan ku,
sementara aku terus mengikuti langkah kaki wanita itu. Langkah ku terhenti saat
wanita itu memegang batu nisan yang bertuliskan nama GASTIN DE VANO BIN EDWIN COKRO.
Membaca nama dibatu nisan itu membuat nafas ku terhenti bersamaan dengan detak
jantung ku dan awan mendung yang mulai menutupi langit kota Bandung.
“Ini rumah
baru anak tante Vannya, ini rumah Vano!” Ucap wanita itu lirih sembari
menangis diatas batu nisan itu. Aku langsung terjatuh lunglai berlutun
dihadapan nisan yang bertuliskan nama Vano. ***
“Sudah
sebulan yang lalu Vano meninggal karena kecelakaan kendaraan bermotor saat ia
pulang membeli tiket pesawat untuk menemui kamu, sebelumnya ia sempat keritis
selama tiga bulan. Sebelum Vano keritis, ia sempat menitipkan ini sama tante
dan melarang tante untuk tidak memberi tahu kamu tentang keadaannya meski
kondisinya separah apa pun.” Kata - kata tante Erlin masih terbesit dikepala ku
saat aku menangis dipelukannya hingga aku kembali ke Pekanbaru dan mengurung
diri dikamar memandangi sebuah amplop putih besar ditangan ku, hati ku kini
tergerak untuk membuka isi amlop itu. Terlihat sebuah surat dan sebuah amplop
ukuran sedang didalamnya, aku segera membaca surat itu.
“ Dear
Sahabat yang kini mengiasi hati ku dengan Cinta layaknya seorang kekasih hati.
Apa kabar kamu? Aku harap kamu selalu sehat disana. Amin. Vannya sayank, em..,
maaf ya aku manggil kamu sayank, gak apa-apa kan? Seperti ucapan ku sebelum
pergi, aku mencintai kamu. Meski pun saat itu usia kita masih menginjak 13
tahun, tapi perasaan itu benar adanya. Hehehe…, aku jadi malu. Sayank! Aku gak
tau kenapa hati ku tergerak untuk segera menuliskan surat ini, padahal hari
ulang tahun kamukan masih lama, aku juga udah siapin kado buat kamu, sebuah
foto kamu waktu acara ulang tahun yang ke 18. Kamu cantik banget, tapi aku
sedih ngeliat kamu, karena kamu Cuma foto sendirian, jadi aku edit aja foto itu
dengan foto aku. Jadi kamu gak sendirian deh! Semoga kamu suka dengan editan
foto ini ya. Aku gak sabar mau ketemu kamu lagi. Aku sayang kamu, Devano cinta
Vannya selamanya. Kamu cinta sejati aku. See you!, Salam Cinta deVano. :*” Aku
pun langsung menangis memeluk surat terakhir dari Vano untuk ku, sembari
melihat foto dari Vano itu, menangis menyesali diri ku yang malang ini,
menyesali tuhan tak memberikan kesempatan kepada ku untuk bertemu Vano. Sesaat
aku teringat akan ucapan Zara empat bulan yang lalu saat dawat pena ku habis,
aku tak bisa menentukan takdir ku akan bertemu Vano seperti cerita yang aku
goreskan dengan tangan ku, mungkin tuhan sengaja membuat dawat pena itu habis
agar cerita itu sesuai dengan takdir yang telah ia rencanakan untuk ku, agar
aku menyadari semua Kuasa -Nya bahwa takdir itu berada ditanganNya, bukan
berdasarkan goresan dawat pena yang kini terpajang dimeja belajar ku sebagai
hiasan kamar dan hiasan didalam cerita cinta sejati antara aku dan Devano yang
kini cinta itu dibawa mati bersamanya, Namun hidup dihati ku, Untuk selamanya.
:’) *** THE END ****
Komentar
Posting Komentar